Jumat, 12 Juni 2015

Antara Hati dan Logika (True Story Sobat KPM)


Antara Hati dan Logika
Oleh : Yeni Yulianti

“Layang-layang bisa terbang karena menantang angin”—Sri Raharso

Layang-layang tidak akan pernah terlihat indah terbang diatas muka bumi, jika dia tidak membuat keputusan untuk menentang angin yang kencang. Bagi layang-layang angin merupakan sebuah tantangan yang harus ditaklukan. Sama halnya dengan HIDUP. Hidup adalah sebuah tantangan. Dimanapun, kapanpun, apapun, dan dengan siapapun pasti akan ada tantangan yang harus kita hadapi dan taklukan.

Tahunlalu (2014) mungkin bagi saya adalah tahun yang penuh dengan tantangan dan pengalaman. Berpuluh-puluh pengalaman danberatus-ratus pelajaran saya dapatkan dari awal bulan sampai akhir bulan 2014. Saya benar-benar bias menghargai semenit demi semenit waktu yang saya miliki.
Bener kata Kang Ginan (Mahasiswa Filsafat UI 2012) “Sayaini orang keren. Dan orang keren selalu bangkit di akhir cerita-cerita superhero. Oke, akan saya buktikan sekarang. Saya berjuang, from zero to hero”. Dari kata-kata itu saya jadi termotivasi selama semester terakhir di SMA Saya mengerahkan seluruh kemampuan yang saya miliki untuk mengejar mimpi saya menjadi “Mahasiswa Ilmu Ekonomi UI 2014”. Walaupun demikian saya tetap tak habis pikir mengapa setiap orang mempunyai kebiasaan merubah pola hidup ketika semuanya dalam batas habis waktu???.

Di tahun 2014, dari bulan Maret sampai bulan Juni waktu saya benar-benar saya habiskan hanya untuk belajar. Selama itu pokoknya gak ada nonton sinetron, gak ada keluyuran sama temen, dan juga gak ada yang namanya maenan handphone sampe tengah malam.  Waktu itu saya membuat jadwal belajar yang sangat intens. (Wah keren juga tuh, terus hasilnya gimana yen?) Nah  itu dia, walaupun hasil yang saya dapat dari perjuangan yang menurut saya sudah maximal  itu tidak sesuai harapan, (lah? mengapa bisa tak sesuai harapan?). Alasannya, Pertama karena saya tidak lulus SNMPTN, kedua saya juga tidak lulus SBMPTN, dan yang lebih parah lagi nilai rata-rata UN saya jauh sekali dari target yang saya tetapkan. Sedih? Itupasti, tapi apa saya akan tetap seperti ini ? meratapi nasib yang tak membawa harapan? Ohhh no, itu bukan tipe seorang pemenang J saya bangkit dan tegak berdiri menghadapi ujian kehidupan selanjutnya. Walau   1 minggu mungkin wajar jika saya tidak ingin melihat soal-soal pemantapan UN dan soal-soal latihan SBMPTN yang dulu adalah teman setia saya dikala pagi, siang, petang dan malam (kedengaran sedikit agak berlebihan, however itulah yang terjadi ).

Untuk setiap harinya rata-rata waktu sembilan jam saya habiskan di sekolah. Berangkat pagi pulang petang, ketika berangkat kesekolah langit masih gelap dan ketika tiba di rumah langit sudah berubah menjadi gelap kembali. Aaaaah rasanya itu rutinitas paling melelahkanL.  Dulu sempat terpikir oleh saya untuk menyerah, namun apa itu jalan yang saya harapkan?  Jelas jawabannya tidak, saat itu yang bisa saya lakukan adalah menengadah berserah diri dan meminta yang terbaik kepadaNya.
JUM’AT, 25 APRIL 2014

Saat itu memang rutinitas telah berubah menjadi ketenangan yang menegangkan. Karena bosan dengan kegiatan yang penuh dengan kesia-siaan selama masa pengangguran itu, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftarkan diri sebagai peserta EKSPEKTASI Asgar Muda Super Camp angkatan pertama. Ekspektasi AMSC itu adalah organisasi yang berada dibawah naungan organisasi Asgar Muda Super Camp yang dibentuk atau bertujuan untuk membekali kader-kadernya menghadapi kehidupan di kampus yang mereka impikan.  Ironisnya waktu itu saya belum diterima di PTN manapun, karena pengumuman penerimaan mahasiswa baru baru akan diumumkan pada bulan Mei. Tapi entah mengapa saya begitu optimis dengan keyakinan saya, bahwa kelak saya pasti bisa kuliah.

Seleksi demi seleksi telah saya lewati, dan akhirnya saya menjadi bagian dari 80 orang yang beruntung menjadi peserta Ekspektasi AMSC angkatan  pertama. Setelah lolos seleksi, saya tak pernah absen mengikuti serangkaian kegiatan seperti training motivasi untuk kuliah diperguruan tinggi negeri, mentoring, dan juga menghadiri kelas tambahan persiapan SBMPTN. Sebenarnya kegiatan-kegiatan ini ditentang keras oleh ibu saya, karena memang beliau tidak terlalu mengizinkan semua anaknya untuk aktif di kegiatan-kegiatan sekolah ataupun luar sekolah, apalagi waktu itu saya sudah bebas dari berbagai kegiatan wajib masa putih abu-abu. Akibatnya selama mengikuti kegiatan di Asgar Muda saya tak jarang pergi tanpa izin beliau, bukan ingin menentang tapi terkadang kita harus berani bersikap dalam mengambil keputusan yang sekiranya menurut kita benar dan tidak menentang aqidah kita.

***

SELASA, 27 MEI 2014

Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu datang juga.. apa yang terjadi dengan mimpiku dan perjuanganku selama ini? Kabar itu..berita penerimaan mahasiswa baru melalui jalur prestasi akademik (SNMPTN) sudah didepan mata, akan tetapi saya belum sanggup untuk melihat kenyataannya (diterima atau tidak, itu semua terjadi atas kehendakNya). Waktu itu teman-teman saya sudah gencar menanyakan via sms “yen gimana keterima gak?” atau “dek gimana udah dicek belum berita SNMPTN?” dan berbagai pertanyaan lain yang beragam dengan satu tujuan yaitu “kepo” alias penasaran J. Akhirnya saya menyarankan agar teman-teman saya dan kakak tingkat saya untuk membuka sendiri di halaman web SNMPTN, setelah saya beri tahu user name dan passwordnya. Dan merekapun tahu sendiri apa yang terjadi. Saya tidak LULUS SNMPTN. Ketika itu pupuslah harapan saya untuk menjadi sarjana ekonomi-__-. Sempat putus asa dan kecewa lalu menangis karena tak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Tapi ternyata saya tidak sendirian karena teman-teman dikelas ataupun di organisasipun mayoritas mengalami hal yang sama pedihnya. Kesedihan memang akan terasa lebih ringan ketika kita tak sendirian mengalaminya. 

Ketika saya memberitahu ibu saya kalau saya tidak lulus SNMPTN, ibu saya hanya menanggapi dengan sikap yang terlihat seperti tidak terlalu peduli dengan berita seperti itu, karena sejak awal harapan ibu saya adalah setelah lulus SMA saya harus bekerja seperti apa yang sepupu-sepupu saya lakukan. “Kerja dulu baru kuliah dengan uang sendiri” begitulah pendapat ibu saya. Tapi ketika lulus SMA saya  merasa belum mempunyai skill apa-apa untuk bekerja. Disana saya mulai bingung dengan masa depan saya yang masih jadi ilusi. Apakah saya akan ikut SBMPTN atau saya mulai membuat surat lamaran pekerjaan ke PT-PT yang ibu saya sarankan. 

Tanpa sepengatahuan ibu saya, diam-diam saya selalu konsultasi kepada guru BP dan mentor-mentor saya di asgar muda. Dan alhamdulillah saya mendapatkan pencerahan dari masalah-masalah yang saya hadapi. 98% pendapat itu dapat disimpulkan bahwa saya harus mengikuti tes tulis masuk perguruan tinggi negeri dan 2% nya tergantung dari keberanian saya untuk memutuskan.

Singakat cerita...

Saya sudah mengikuti tes tulis dengan izin yang dipaksakan, hasilnya? Saya GAGAL lagi. dan kali ini orang tua saya benar-benar meminta saya untuk berhenti berharap kuliah di tahun 2014, karena nyatanya tes demi tes gagal saya taklukan walaupun saya sudah berjuang. Namun hati kecil saya masih bersemangaat untuk mengikuti tes-tes yang lain walupun itu bukan jurusan Ekonomi.

Karena didorong dari motivasi dan ambisi yang sangat kuat saya memutuskan untuk mendaftarkan diri di Politeknik Negeri Bandung melalui jalur tulis. Ketika itu tanggal 15 juli 2014, saya daftar di jam-jam terakhir penutupan pendaftaran, berbekal uang tabungan yang saya miliki saya daftar dan ke bank diantar seorang teman yang sama daftar SMB juga. Waktu itu saya nekat tidak meminta izin kepada ibu saya, karena saya sudah yakin beliau tidak akan mengizinkan saya untuk ikut test lagi.

Hari demi hari berjalan terasa cepat, akhirnya tanggal 17 juli saya meminta izin untuk pergi ke bandung, karena tanggal 18 juli adalah test nya. Semalaman saya memikirkan bagaimana besok, gimana caranya bicara kalau besok saya akan pergi ke Bandung untuk test masuk POLBAN, semalama saya tak bisa tidur hanya gara-gara tidak tahu gimana caranya bicara degan ibu. 

Saya memang kurang dekat dengan ibu dan dengan semua orang yang ada di rumah, terkecuali denagn nenek saya,  makanya untuk hal yang sepele saja saya bingung gimana cara mengungkapkannya (#ironis ) . pagi itu sengaja saya bangun lebih pagi dan beres-beres rumah lebih awal karena jam 9 saya sudah janji bersama ke empat teman saya untuk berangakat ke Bandung. Tak saya sangka baru saja satu kalimat meluncur dari lidah saya, ibu saya langsung membom bardir dengan puluhan kalimat yang membuat saya terisak. SAYA TIDAK DIBERI IZIN . Bingung.  Apa yang mesti saya lakukan? Karena semua sudah siap, hanya izin yang saya butuhkan saat itu.  

sementara saya menangis di kamar, ibu saya menyuruh saya untuk menjaga rumah dan nenek saya, karena katanya waktu itu ibu saya ada urusan keluar. disanalah otak saya bekerja.  saya menulis surat untuk ibu saya yang isinya permintaan maaf karena telah melawan. saya memutuskan untuk kabur dari rumah. melalui perang tangisan antara saya dan nenek, tanpa dibekali uang sepeserpun akhirnya saya pergi tanpa salam kepada ibu, saya berpikir tak apa kali ini saya menentang utnuk mimpi, karena dulu-dulu saya selalu nurut dengan semua perintah ibu, toh ini bukan sesuatu yang menyalahi aturan. untungnya saya punya tabungan yang cukup untuk pergi kebandung. di sepanjang perjalanan saya berdo'a dan meminta untuk diselamatkan.

setelah sampai di Bandung, saya menginap di kosan anak PAMAGAR( Paguyuban Mahasiswa Garut) bersama 2 orang teman perempuan saya, dan yang 2 orang lagi menginap di Garut Kost. ketika sampai saya langsung disambut dengan hangat oleh teh Tyas (Mahasiswa Akuntansi Polban 2012) dan Kang Agung (Mahasiswa Teknik Sipil Polban 2012). Perasaan yang melegakan karena selamat sampai tujuan tapi hati tetap tidak tenang-,- . Saya langsung memberi  kabar kepada ibu saya karena saya sudah sampai di Bandung. ibu saya hanya membalas dengan kata-kata yang dingin tanpa ekspresi. Namun tak apa karena itu sudah menjadi konsekuensi. 

Siangnya saya pergi kekampus Polban untuk yang  pertama kalinya, dan menjalani tes dengan hati yang gugup. akhirnya selesai juga. sebelum test saya berdo'a dalam hati " Ya Alloh, jika memang ini adalah pilihan yang terbaik yang Engkau tentukan, maka berilah kelancaran dalam setiap langkah yang saya jalani. jika memang kuliah bukan jalan satu-satunya untuk mencapai apa yang saya impikan saya akan berhenti sampai titik ini dan menerima saran orangtua saya". saya bertekad dan yakin.

TEST SELESAI

23 JULI 2014 saya mendapat kabar menggembirakan.... SAYA LULUS SELEKSI di pilihan pertama dengan uang kuliah tunggal paling rendah dan hanya untuk satu orang. betapa bahagianya saya menjadi satu orang itu. Alhamdulillah. Orang tua saya terlihat bahagia, akhirnya saya dapat membuktikan kalau saya benar-benar ingin kuliah.

Pesan : ketika kita yakin dengan apa yang kita anggap benar walau itu bertentangan dengan ideologi orangtua, maka tak ada salah nya untuk mencoba keluar dari zona nyaman. BERANI MENGAMBIL RESIKO adalah syaratnya.

semoga kisah saya diatas dapat memberikan sedikit masukan untuk good readers dimanapun yang mempunyai masalah antara Hati dan Logika. 

#SalamSukses

Kamis, 11 Juni 2015

Ukti Manis (Cerpen Sobat KPM)



Ukhti Manis
Oleh: Lukman Hakim


 
Jika kau berkunjung ke sekolah kami, duduklah sejenak di teras asrama ikhwan. Dengan ditemani semilir angin pohon trembesi dan kicauan burung merpati, kau akan merasakan atmosphere yang berbeda saat kau kembali berdiri dari kursi panang yang kau tempati. Jika nasibmu mujur, mungkin kau akan melihat bidadari melintasi pekarangan asrama putri. Atau jika nasibu buruk, kau akan diceramahi sepanjang hari oleh ustadz karena kau telah berani memandang santri putri.
   Di asrama putri ada satu ciptakaan-Nya yang nyaris sempurna, menyejukan hati ketika di pandang namanya ukhti Mutiara atau yang biasa disapa ukhti manis. Gadis anggun berparas cantik nan manis ini memang telah menjadi idola seseantreo sekolah kami. Ditambah kerudung panjang biru bercorak ‘spirit flower’ yang selalu melekat di kepalanya menambah nilai plus baginya bak jelmaan bidadari yang diutus ke sekolah kami. Tapi dengan begitu dia menjadi lebih berwibawa dan membuat kami lebih segan. 
  Gadis cantik berprestatsi tinggi, baik akedemik maupun non akademik. Dia juga tak hanya energik tapi juga solehah. Konon, ketika ia duduk di kelas 2 SMA, ia telah hafal setengah alquran atau 15 juz. Pencapaian gemilang baginya yang baru 2 tahun menetap di pondok. Padahal, ketika ukhti manis menjabat sebagai osis ia terbilang cukup sibuk dengan seabrek kegiatan ataiu event event yang ia selenggarakan baik internal maupun eksternal. Namun, itu semua tak menghalanginya untuk fokus menghafal Alquran agar ia dapat memakaikan mahkota kepada kedua orangtuanya kelak di akhirat. 
  Sekarang sang bidadari tengah berada di kelas 3 SMA. Berarti beberapa bulan lagi ia akan meninggalkan sekolah kami. Selama dua tahun lebih keberadaan sang bidadari, banyak para ikhwan yang berusaha menaklukan htinya. Mulai dari adik kelas teman seangkatan, ketua osis, hingga beberapa guru pun juga ada yang berminat meminangnya kelak ketika ia lulus. 
 Sebutlah ustadz Tohir. Beliau merupakan salah satu alumni terbaik sekolah kami lima tahun silam. Setelah lulus dari sekolah kami beliau mendapat beasiswa di IPB dan lulus dalam kurun waktu yang relatif singkat yaitu 3,5 tahun dengan menyabet predikat cumlaude. Sambil mengajar di sekolah kami, beliau  juga bekerja di salah satu instati pemerintah kota bogor. Tak hanya itu, kini beliau juga terlihat lebih rapih dan parlente. Sesuatu yang berbeda saat dia masih suka bersarung kedodoran di pesantren. Sebagai seorang pegawai negeri sipil, masalah keungan jelaslah tidak menjadi persoalan baginya. 
  Setelah Ujian Nasional diselenggarakan, kini tibalah wakrtu wisuda bagi ukhti manis. Perasaan sedih haru, duka, meliputi para santri terkhusus ikwan yang harus rela melepas bidadari kembali ke kayangan. Namun, di sisi lain kami juga bahagia melihat ukhti manis yang menerima berbagai penghargaan dari sekolah dan pemerintah. Tetapi, yang membuat kami semua takjub ialah bahwa sang bidadari telah menyelesaikan hafalan 30 juznya.  subhanalloh , allohu akbar… hanya dua kalimat indah itu;ah yang menggema dipenjuru aula kala sang bidadari dipanggil diatas podium. 
 Setelah pelepasan alumni, Ustadz Tohir pun mulai menyususn rencana sakralnya. Yaitu mempersunting sang bidadari. Ia pun mengirimkan surat dan sebuah kado yang istimewa  dan unik. Ia memberikan sebuah petmata indah dan kitab hadits yang berjudul lu’lu wal marjan(mutiara yang bersinar) sesuai dengan nama dan paras sang bidadari. Entah itu ide dari mana asalnya, yang pasti menurutnya itu cukup membuat sang ustadz optimistis mendapatkan sang bidadari. 
  Tak butuh waktu lama bagi sang ustadz menunggu jawaban sang bidadari. Tanpa membalas surat tersebut dua hari setelah itu ia lansung menghampiri sang ustadz, tanpa basa-basi, ia langsung menyampaikan jawaban atas surat yang diterimanya.
  “Terima kasih ustadz yang telah berkirim surat dan memberikan hadiah kepada saya. Namun, maafkanlah saya yang belum bisa menerima ustadz. Aku ingin mencintai Imamku kelak atas nama Allah” lirihnya sambil menyerahkan kado itu kembali. 
"Bukankah cinta itu bisa ditumbuhkan ukhti?” 
"Betul, namun aku tidak ada waktu untuk menumbuhkannya. Aku tidak mau melihat ustadz menghabiskan waktu hanya demi menunggu sesuatu yang tak pasti”. Tambahnya.
“Ya, tetapi terimalah hadiah ini dariku sebagai bentuk ketulusan cintaku padamu. Dan aku berharap suatu hari nanti kau akan berubah pikiran”. Ujarnya meyakinkan.
“Sekali lagi terima kasih ustadz, biarlah takdir yang akan mempertemukan kita kelak jikalau kita berjodoh. Sekarang ambilah kembali kado ini dan berikanlah kepada orang yang lebih pantas buat ustadz”. Jawabnya lirih sambil memninggalkan sang ustadz
  Ustadz Tohir pun terdiam dan membisu, tak mampu ia berkata-kata, nafasnya pun tercekat Seakan mendapat tamparan keras dari sang bidadari. Ia tak percaya dengan  apa yang baru saja ia dengar, sebab ia merasa yakin bahwa sang bidadari akan menerimanya. Wajahnya pun menjadi masygul bak bunga yang tampak layu sebelum berkembang. 
  Berita ditolaknya ustadz Tohir oleh sang bidadaripun mulai menjadi buah bibir para santri. Seperti kilat membelah langit, berita itu pun menjadi trending topic di kalangan santri. Para ikmwan yang tadinya sudah frustasi melihat ustadz tohir yang lebih unggul dari mereka ditolak. Kini Seakan mendapat angin segar mereka bangkit kembali untuk memperjuangkan cinta mereka. Mumpung ukhti manis masih harus mengabdi 1 bulan di pondok sebelum sebulan kemudian dikirim ke suatu desa untuk mengikuti pengabdian.
  Diantara mereka ada seorang penulis yang cukup prodiktif. Diam-diam dia juga memendam rasa kepada sang bidadari. Namun, ia tak pernah berani mengungkapannya. Bahkan sampai ketika ia lulus pun belum pernah ia sedikitpun mengutarakan isi hatinya kepada sang bidadari. Barulah setelah ia lulus ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan cintanya. Sebelum nasi menjadi bubur, ia pun mulaiu menyiapkan langkah-langkah untuk menggait hati sang bidadari. Namun, tak ada cara lain yang ia mampu utarakan selain melalui tulisan. Ya, dengan surat persis seperti yang dulu dilakukan oleh para ikwan lainnya dan ustadz Tohir. Meski cara itu terkesan jumud dan sia sia. Tetapi ia tak akan menyerah. Ia akan membuat surat tersebut menjadi sedemikian menarik dengan mengedepankan sisi feminis perempuan. Karena keumumuman wanita menyukai warna merah jambu atau warna cerah lainnya, maka warna tersebutlah yang menjadi pilihannya. Ia pun mulai menuangkan isi hatinya dengan kata-kata paling indah yang terlintas di benaknya. Berbagai diksi dan majas ia gunakan agar lebih terkesan puitis. Setelah usai  mencurahkan seluruh isi hatinya, ia pun mengecek ulang kata demi kata agar tidak ada kecacatan. agar lebih terlihat romantis, ia membentuk surat tersebut menjadi lambang hati. Selesailah surat tersebut. 
  Di malam harinya ia mengendap-endap ke perpustakaan sekolah yang dimana itu menjadi tempat menhabiskan waktu luangnya untuk membaca dan memuroja'ah alqur'an. misi ini ia lakukan seorang demi menjaga imagenya agar tidak menjadi bahan omongan anal-anak. setelah situasi aman, ia menyeliupkan surat tersebut di selipan buku favorit ukhti manis yang sedang dibacannya, ia masukan tepat pada tanda baca yang ukhti manis letakan, ia pun meninggalkan kelas dengan senyum kepuasan dan beribu-ribu doa agar sang bidadari mau menerimanya. buku-buku dan kursipun menjadi saksi atas perbuatannya malam itu.
  Dua minggu sudah  ia menunggu balasan surat dari sang bidadari. namun,  tak kunjung jua harapan itu, ia pun semakin galau dan cemas memilirkannya.  ia mulai berspekulasi kalau kalau suratnya jatuh ke tangan orang lain atau diambil ustadz, namun itu tak mungkin. pasalnya tak ada orang lain yang berani membuka loker ukhti manis tanpa seizin darinya. atau ada kemungkinan lain bahwa surat tersebut belum dibaca olehnya? 
  Demi menghilangkan rasa penasarannya, ia pun kembali ke perpustakaan untuk memastikan. hanya ditemani sebuah senter kecil ia membuka kembali loker sang ukhti manis dan mencari buku yang pernah ia selipkan suratnya. tak ada yang berubah dari susunan tumpukan buku bukunya, hanya sedikit lebih berantakan dari biasanya yang menandakan bahwa sang empunya telah membacanya. dugaanya ternyata benar, bahwa suratnya telah raib. ia pun membuka buku itu kembali dengan hati-hati ia telusuri halaman demi halaman. ternyata hasilnya tetap nihil. "mungkin sudah diambil oleh ukhti manis suratku ini". terkannya dalam hati menenangkan. 
  Namun, satu hal yang masih membuat ia bingung, apa gerangan sang bidadari  hingga  belum membalas suratnya? apakah ia malah menjadi benci karna surat yang ia terima? dengan berbagai pertanyaan yang masih berkecimuk ia pun pergi meninggalkan ruang tersebut. tiba-tiba kaki bejo pun tersandung tempat sampah mini yang berada di samping pintu. sambil mengucapkan sumpah serapah ia punguti sampah-sampah itu kembali. tetapi, betapa terkejutnya ia kala melihat seonggok kertas berwarna merah jambu  tergerai di lantai bersamaan sampah lainnya. dengan sedikit cahaya dari lampu senter miliknya ia buka kertas tersebut dan jleb! ternyata itu surat miliknya. ya, secara tersirat tapi pasti ia telah ditolejk oleh sang bidadari!!
  Akhirnya berita ditolaknya sang penulispun juga tersiar ke telinga para santri. bahkan lebih dahsyat dari pada berita ditolaknya ust. tohir. bahkan banyak para ikhwan dan akhwat yang mencibir tindakan sang penulis tersebut, namun ada pula yang turut kasihan terhadapnya. tapi apalah arti sebuah dukungan dan keprihatinan jika harapan telah kandas? 
  Hari demi hari berlalu sebagaimana mestinya. kini masa pengabdian sang bidadari di pondok telah habis. sekarang ia akan dikirim ke daerah banten bersama rekan  lainnya untuk mengikuti . kabar tentang ukhti manis pun semakin hari semakin sirna. para ikhwan yang dari dulu mengejarnya mulai frustasi dan bosan. mereka mulai mencari daun daun muda yang akan datang. begitu juga sang bidadari yang semakin menjadi galak menanggapi respon para ikhwan yang mengejarnya. walau begitu, menurut kami belum ada yang dapat menandingi sang bidadari.
  Hingga di suatu siang yang cukup adem. dimana  matahari lebih memilih sembunyi di balik awan. kami berempat tengah asyik duduk santai di teras asrama. tiba-tiba kami semua dikejutkan dengan sebuah fenomena menakjubkan. sosok yang sangat kami rindukan kehadirannya yang tak lain dan tak bukan adalah sang bidadari. setelah kami amati lebih dalam, ternyata benar ia ukhti manis. namun, kali ini ia tak datang sendirian. ia ditemani oleh seorang lelaki yang kami duga sebagai bapaknya atau abangnya. karna tak mungkin ukhti manis mau berboncengan dengan pria yang bukan mahramnya. tetapi, jikalau pria itu abangnya tau bapaknya, tak ada tanda-tanda yang mengarah padanya. setidaknya itu dapat dilihat dari perbedaan fisik keduanya. pria itu berambut ikal, berkulit hitam legam, berbadan pendek tambun, dan tampak urat-urat yang menonjol di sekujur lengannya menandakan pekerjaan fisiknya. adapun ukhti manis, terlalu sempurna disandingkan dengannya.
  Dari kejahuan, kami melihat beberapa akhwat berhamburan menuju ukhti manis. mereka bersalaman dan berpelukan seakan melepas rindu yang telah lama raib. bahkan anak baru yang tak tahu menahu pun juga ikut menyalaminya. kami terkikik melihatnya. sang bidadari hanya tersenyum kepada mereka seraya memberi isyarat kepada pria yang berdiri mematung di belakangnya untuk menghampiri kami.
" Assalamualaikum warahmatullohi wa barakatuhu" sapanya sopan.
" Waalaikum salam..pak.. " jawab kami spontan sambil menjabat tangannya.
" Nama saya Ari, saya  suaminya dik Mutiara" ujarnya memperkenalkan diri.
  kami semua tersentak  mendengarnya. Bejo dan Iqbal berusaha menutup mulutnya menahan kaget. belum sempat membalas dia mohon pamit meninggalkan kami berempat.
" Kalau begitu saya duluan ya, saya ada perlu dengan pak Umar. wasallamualaikum warahmatullahi wa barakatuhu". tambahnya sambil berlalu meninggalkan kami.
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu" jawab kami serempak seraya menutupi wajah heran kami.
 Tak lama kemudian ukhti manis pun melangkahkan kaki mungilnya untuk menyusul suaminya tersebut. dengan menundukan paras cantiknya ia mengucapkan salam kepada kami dengan lirih. kami semua menjawab salamnya. Sang bidadari pun lewat.
   Salah seorang alumni yang dulu pernah ikut pengabdian bersama ukhti manis mengkisahkan. Bahwa pria itu adalah seorang yatim piatu yang tinggal di daerah banten tepat dimana sang bidadari menjalani masa pengabdian. Setiap harinya ia bekerja sebagai tukang kelapa. Di pagi hari, ia pergi ke ladang majikannya memetik kelapa dan memarutnya untuk kemudian di jual di pasar. Dari kerja tersebut ia mendapat beberapa lembar uang ribuan. Selama kami mengabdi kepada masyarakat sekitar, tak jarang pria itu menyisihkan kelapa segar untuk kami. Ukhti manis pun selalu menerima uluran tangannya dengan senang hati dan penuh suka cita. Dengan ditambah sedikit gula dan es  habislah kelapa segar tersebut olehnya. tak sebatas itu, kami juga kerap menjumpai pria tersebut sedang membersihkan masjid kampung di kala sepi. Dengan penuh keikhlasan ia menyapu, mengepal, mencabutu rumput sekitar masjid dan mengambil air di sumur tanpa terpancar sedikitpun peluh dan kesah di wajahnya. hal tersebutlah yang mungkin menjadikan sang bidadari takluk dengannya.

Senin, 08 Juni 2015

Uang (Cerpen Sobat KPM)


UANG 
  Oleh : Fajar Supriono 
https://www.facebook.com/fajar.mike

Aku perlu uang. Aku manusia normal, sama seperti manusia lainnya yang membutuhkan benda ini untuk hidupku sehari-hari. Terlebih di akhir bulan seperti ini. Gaji belum turun, kebutuhan tetap harus dipenuhi
Aku periksa ATM, tersisa empat ribu rupiah. Cih. Ditarik pun tak bisa. Pekerjaan guru honorer membuatku kembang kempis di saat-saat seperti ini. Pikiranku buntu. Salah satu hape sudah kujual beberapa hari lalu. Hape buatan Cina yang kupunya sejak awal menjadi guru. Hanya laku seratus ribu rupiah saja.
Ku korek-korek isi lemari, celana, tempat-tempat menyimpan uang receh lain yang aku tahu terkadang tersembunyi di kamar kost. Hanya ada lima ribu rupiah. Yah, lumayanlah untuk dua atau tiga ke depan. Beberapa kali kucoba mengontak teman-temanku. Pinjam uang. Beberapa menjawab, lainnya tidak. Ah, yang membalas sms ku pun, jawabannya sama saja. Tidak bisa meminjamkan uangnya karena akhir bulan dan sudah untuk keperluan dan kebutuhan lainnya.
Ahhhhh.... Berbaring, kutatap atap kost-an. Pikiranku ke mana-mana. Mengontak orang tuaku? Saudara-saudaraku? Terlalu sering aku merepotkan mereka dengan meminjam uang, numpang tidur, numpang makan, numpang lainnya. Tak enak hati kalau sampai merepotkan lagi seperti ini.
“Bengong aja kau Jar!”
Kampret! Bikin kaget aja Bang,”
“Hahaha!”
"Batak sialan.” Umpatku dalam hati.
“Mikir apa kau? Berapa hari bengong terus tiap pulang ngajar.”
“Gak apa-apa Bang. Cuma mikirin uang. Sudah tipis dompetku sekarang Bang.”
“Ah kau kira aku tak pusing mikirin itu? Hahahaha! Tiap hari aku pikirin itu, Jar. Sudah seminggu ini aku bolak-balik pinjam uang ke abangku.”
“Enak abang masih punya saudara di sini. Aku? Gak enak aku repotin keluargaku lagi. Ada rokok, Bang?”
“Nih, ambillah sebungkus. Cukup uang dari abangku untuk keperluanku.”
“Makasih Bang.”
Kuhisap sebatang, kuhembuskan asap rokok ke atas. Kembali memikirkan dari mana aku mendapat uang. Habis sebatang, dua batang, tiga batang. Pusing lama-lama otakku. Kubuang puntung-puntung rokok itu, kubersihkan. Kutinggal tidur.
***

I need a hero to save me now
I need a hero (save me now)
I need a hero to save my life
A hero'll save me (just in time)

Alunan lagu “Hero” dari Skillet membangunkanku. Berisik sekali di kala tidurku nyenyak. Ah, baru kuingat. Sengaja kupasang lagu itu sebagai alarm supaya aku cepat bangun. Rutinitas seperti biasa, mandi, beres-beres dikit, berangkat.
Di sekolah aku mengajar seperti biasa.
“Selamat pagi anak-anak.”
“Selamat pagi, Pak.”
“Baiklah, siapkan buku tugas dan PR kalian.”
Berlanjut rutinitas seperti biasa. Pikiranku tetap melayang, memikirkan bagaimana memperoleh uang tambahan. Ke koperasi sekolah? Rasanya tidak mungkin. Belum genap setahun aku di sekolah itu.
Bel istirahat berbunyi. Kulihat telepon selularku, ada dua pesan masuk. Satu dari adikku sekedar bertanya, “Mas, dmn?”
Segera kubalas, “Di skul”
Satu, dari koordinator pemuda memberi pesan agar sore ini berkumpul di basecamp, ada rapat nanti sore. Kututup telepon selularku seiring murid-murid selesai istirahat.
“Sekarang, siapkan materi selanjutnya.”
“Iya Pak.”
***
Selesai mengajar aku segera ke base camp. Pikiranku terus saja berkecamuk. Di mana aku bisa memperoleh uang tambahan? Di sebuah perempatan jalan, lampu berwarna merah. Sambil berhenti menunggu hijau, seseorang menghampiriku memberikan secarik kertas tawaran kredit pinjaman uang. Mungkin ini salah satu jalanku memperoleh uang tambahan. Akan kujaminkan motorku. Lampu hijau, kupacu motor vespaku. Selang berapa meter, aku berhenti. Motor ku tepikan, ku ambil kembali kertas tadi. Ku baca baik-baik rincian peminjaman dan syarat-syaratnya. Alamak! Motor vespa tahun 83 ini tak bisa kujaminkan. Salah satu syarat untuk motor adalah, keluaran tahun 97. Pupus salah satu harapanku. Kuremas iklan itu, lalu kubuang. Brengsek.
***
Di basecamp kulihat baru beberapa pemuda duduk-duduk santai.
“Oy, Pret. Mana yang lain?”
“Gak tau Mas. Saya juga baru nyampe 5 menitan. “
“Pada di warung kali Mas,” sahut Muel.
“Oh, nuhun.”
Sebelah basecamp memang ada warung biasa kami nongkrong, Warung Pak Asep. Kami sudah menganggap warung ini seperti basecamp kedua kami, tempat ngobrol ngalor-ngidul sambil merokok atau ngopi. Ya, terkadang minta dibuatkan indomie juga.
Sudah sampai duluan kau?” ujarku melihat ketua pemuda sedang duduk santai menghembuskan asap rokoknya.
Udah dari tadi Mas, nungguin yang lain dulu. Ngopi Mas.”
Boleh juga. Kopi satu, Pak.
“Siaplah,” ujar Pak Asep sang pemilik.
Kuambil sebatang rokok lalu kusesap..
Mau bahas apa nanti Niel?”
“Biasa Mas, persiapan Pilkada nanti.”
“Oh, kirain mau ngebahas apaan.”
Obrolan kami lanjutkan hingga waktu rapat mulai.
***
Tiba di kosan, badan serasa hancur remuk. Ingin langsung kurebahkan badan di kasurku.
Di kamar, adikku sedang mengerjakan tugasnya.
“Gimana tadi Mas?”
“Yah, gitu aja Gong. Masalah pilkada dan masalah lainnya,” sambil kurebahkan badan ini.
Masalah duit, gimana? Kalo ga ada, minta aja ke Bapa Mama, Mas.”
Malu Gong. Bapa Mama juga ada keperluan kemarin, ‘kan? Dah, mau tidur dulu. Capek.”
Baru sekejap mata ini beristirahat, adikku membangunkanku.
“Mas, Mas, buat tulisan aja, atau cerpen.”
“Heh? Apa Gong?” setengah sadar kubalas sekenanya.
“Tulis cerpen atau tulisan. Buat apa kuliah, ga bisa nulis.”
Menohok sekali ucapan adikku ini. Masih setengah sadar, aku mengiyakan.
“Sok atuh, gantian komputernya.”
“Kalem, belum selesai tugasnya nih.
“Ya udah, kamu bangunin Mas kalo dah beres.”
Lanjut tidur.
Selang beberapa lama, “Mas, Mas, udah ni. Mau pake gak?”
“Heh?” kupaksakan bangun, kulihat jam di dinding. Astaga! Jam setengah dua malam. Kampret.
“Katanya mau pake komputer.”
Kalem. Ngumpulin nyawa dulu.”
Bangun, ke kamar mandi, cuci muka, bikin kopi. Beres ritual pengumpulan nyawa itu, aku tatap layar monitor. Start, All Programs, Microsoft Office, Microsoft Word. Berapa kali kucoba membuat awalan cerita. Brengsek, gak dapet-dapet juga idenya. Merenung beberapa saat, aku mengetik,

Aku perlu uang. Aku manusia normal, sama seperti manusia lainnya yang membutuhkan benda ini untuk hidupku sehari-hari. Terlebih di akhir bulan seperti ini. Gaji belum turun, kebutuhan tetap harus dipenuhi
Aku periksa ATM, tersisa empat ribu rupiah. Cih. ...